Posted by : ROHIS - SMKN 1 CIBINONG
Minggu, 07 Februari 2016
Pesta Tahun Baru, Pesta Jahiliyah
(Buletin El-Marjan [Edisi. 11/Th. II)
Oleh: O. Solihin [gaulislam.com]
Nuansa
perayaan tahun baru sudah mulai terasa seminggu
bahkan dua minggu sebelum tahun baru kemarin. Tradisi tahunan ini selalu
menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk remaja. Sebenarnya pergantian waktu
itu sudah biasa kita alami, tetapi manusia kadang suka menggunakan ukuran waktu
tertentu untuk membuatnya menjadi spesial. Baik spesial harinya, maupun spesial
dalam merayakannya. Momen pergantian tahun sama saja dengan momen pergantian
waktu setiap hari. Adanya hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan
Sabtu (ini semua serapan dari kata bahasa Arab) adalah nama-nama hari yang
selalu kita lewatkan sepanjang waktu. Jadi sebenarnya tak ada yang begitu
spesial dalam urusan ini (dirayakan). Namun dalam pandangan Islam, waktu itu
sangat spesial dilihat dari pemanfaatannya dan nilai ibadah. Orang yang tak
pandai memanfaatkan waktu, bakalan rugi di kemudian hari karena jatah umurnya
kian berkurang. Iya dong. Rugi banget jika selama hidup kita hanya diisi dengan
maksiat sampai akhir hayat. Padahal, untuk bekal di akhirat kita membutuhkan
amal shalih.
Sobat
El Marjan rahimakumullah. Tema untuk mengkritisi tahun baru seperti ini sudah
berulang kali dibahas. Insya Allah para pecinta dakwah nggak bakalan bosan ngingetin
manusia yang nggak bosan berbuat maksiat. Selama hayat masih dikandung badan,
dakwah akan terus digelorakan. Jika bukan karena ingin menggapai ridho Allah
Ta’ala untuk menyelamatkan manusia lainnya dari keburukan dan kemungkaran,
untuk apa capek-capek ngingetin manusia yang lupa diri dan bangga berbuat
maksiat. Jadi, jika EL Marjan kini mengangkat tema ini dan saya yakin banyak
kaum muslimin yang paham juga mengangkat tema sejenis akhir-akhir ini—maka itu
bagian dari kepedulian dan cinta kepada kamu semua. Jangankan bagi kamu yang
masih polos dan suka ikut-ikutan dalam berbuat, bagi mereka yang udah mulai
suka ngaji pun kadang kepeleset juga dalam urusan ini. Itu sebabnya, tetap
harus hati-hati bin waspada.
Mengapa
tak boleh rayakan tahun baru?
Sebagai muslim, kita
wajib menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai ukuran dan rujukan dalam
setiap pendapat dan perbuatan kita sehari-hari. Muslim yang beriman tentunya
memiliki perhatian khusus terhadap Islam. Mungkin di antara kamu ada yang
bilang, “Kan cuma merayakan biasa aja sama seperti acara lainnya, apanya yang
salah?” Ya, alasan itu bisa dijawab begini: “Kan cuma pergantian waktu seperti
pada umumnya, kenapa harus dirayakan—bahkan dengan hal-hal yang bernuansa
maksiat. Jelas itu kesalahannya.”
Sobat El Marjan,
perayaan tahun baru masehi bukanlah warisan ajaran Islam. Selama ini, kaum
muslimin generasi terdahulu hingga sekarang yang paham tentang Islam hanya
mengetahui dan meyakini bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yakni ‘Idul Adha
dan ‘Idul Fithri. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari
(hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika
itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya.
Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha” (HR an-Nasa’i No. 1556)
Nah, karena perayaan
tahun baru bukanlah ajaran Islam, maka kaum muslimin yang merayakannya dianggap
tasyabbuh (menyerupai atau meniru-niru orang kafir) dalam budaya mereka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Menyerupai orang
kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan
(termasuk budaya dan pendapat-pendapat mereka tentang kehidupan). Tasyabbuh di
sini diharamkan berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan kesepakatan para
ulama (ijma’).
Dari
Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Sungguh
kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai
Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?”
Beliau menjawab, “Lantas
siapa lagi?” (HR Muslim, No. 2669)
Nah,
di sisi lain, perayaan tahun baru juga bermasalah. Coba aja lihat deh, mereka
yang merayakan tahun baru itu rela begadang, menyia-nyiakan waktu, dan bahkan
rawan perbuatan maksiat lainnya seperti perzinahan. Orang yang merayakan tahun
baru tak sekadar yang turun ke jalan lalu meniup terompet dan menyulut kembang
api, tetapi ada juga yang demi merayakan tahun baru malah berzina dengan
pacarnya di tempat-tempat tertentu. Seolah, tahun baru menjadi momen spesial
bagi mereka. Tetapi sayangnya, yang dianggap spesial itu justru dalam berbuat
maksiat.
Manfaatkan
waktumu
Ya,
waktu ibarat pedang. Setiap detik ia memenggal kesempatan kita, tanpa kenal
kompromi. Kejam, kita rasa memang
demikian. Tapi alangkah lebih kejamnya lagi apabila kita tidak memanfaatkannya
untuk kebaikan. Itu namanya kita menzalimi diri kita sendiri. Sebab, ini
persoalan bagaimana kita mengatur waktu yang terbatas yang diberikan oleh Allah
Swt. Jangan sampai kita gunakan untuk hal-hal yang nggak ada manfaatnya.
Terbatas? Memang
demikian faktanya, kawan. Andai saja usia kita di dunia ini 60 tahun. Maka
itulah batas hidup kita di dunia ini. Ukuran panjang dan pendek, adalah
hitungan logika kita, tapi tetap pada hakikatnya itu terbatas. Jadi, jangan
sia-siakan waktumu.
Sobat El Marjan.
Sebagai manusia, kita emang terbatas dan nggak sempurna. Itu sebabnya, kita
jangan sampe melupakan siapa kita dan misi keberadaan kita di dunia ini. Ini
wajib kita pahami betul, sobat. Kalau nggak? Wah, bisa kacau-beliau tuh. Coba
aja perhatiin orang yang nggak sadar siapa dirinya dan misi adanya dia dunia
ini, hidupnya suka semau gue. Seakan hidup nggak kenal waktu. Bahkan bagi orang
yang kehidupannya diberikan kebahagiaan berlebih oleh Allah, suka lupa dan
merasa ia akan hidup selamanya di dunia ini. Apalagi bila kita menjalaninya
dengan serba mudah dan indah. Nikmat memang. Namun, sebetulnya kita sedang
digiring ke arah tipu daya yang bakal menyesatkan kita bila kita tak
segera menyadarinya. Rasulullah saw bersabda: “Ada dua nikmat, dimana
manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR
Bukhari)
Dr Yusuf Qardhawi
dalam kitabnya, al-Waktu fii Hayaatil Muslim berwejang, “bila orang melewati satu hari dalam hidupnya
tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan, atau
kemuliaan yang ia wariskan, atau pujian yang ia hasilkan, atau kebaikan yang ia
tanamkan, atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya
dirinya sendiri.”
Belum lagi bahaya
yang bakal kita terima saat kita menyia-nyiakan waktu. Paling nggak ada tiga
akibat; kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa. Kalo begitu,
kita nggak ada bedanya sama “teman-teman” di Ragunan. Ih, amit-amit ya? Jangan
sampe deh.
Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS al-Anfâl [8]: 22)
Begitu pentingnya
akal ini, hingga Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Pokok dasar seseorang adalah akalnya,
keluhurannya adalah agamanya, dan harga dirinya adalah akhlaknya.” Tuh,
catet ya!
Ali bin Abi Thalib ra
juga pernah berwasiat kepada putranya, Hasan dan Husein, sesaat sebelum
meninggal dunia: “Sesungguhnya kekayaan
yang paling tinggi nilainya adalah akal pikiran. Kemelaratan yang paling parah
adalah kebodohan.”
Yang kedua tentang
hati. Kata Imam al-Ghazaliy, “hati itu
ibarat cermin. Kalo nggak pernah dibersihkan, maka akan berkarat oleh debu. Itu
sebabnya, bila kita tidak memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah, untuk hadir
di majelis-majelis dzikir, hati kita akan kosong. Ujungnya, kita mudah resah,
putus asa, frustrasi dan sejenisnya.”
Menyia-nyiakan waktu
juga bisa berakibat kosongnya jiwa kita. Sayyid Qutb memberi gambaran: “Itulah jiwa yang kosong, yang tidak pernah
mengenal makna serius. Ia bersikap santai meski menghadapi bahaya yang
mengintai. Ia bercanda ria di saat membutuhkan keseriusan dan senantiasa
meremehkan permasalahan yang suci dan sakral. Jiwa yang kosong dari sikap yang
serius dan penuh kesucian, akan meremehkan setiap persoalan yang menyelimutinya,
mengalami kegersangan jiwa dan dekadensi moral.”
Tuh, buktinya
sekarang. Ketika banyak orang ngasih nasihat agar jangan merayakan tahun baru,
ternyata banyak juga yang tak mempedulikannya. Tak lagi dianggap sebagai bentuk
peringatan, malah dilecehkan.
Kalo kamu mulai menyia-nyiakan waktumu, maka itu artinya kamu sudah mengarahkan langkah kamu ke dalam jurang kehancuran. Kosong akal, kosong hati, dan kosong jiwa. Kalo udah begitu, alamat kehidupan ini terasa garing dan nggak bermakna. Padahal, kehidupan di dunia ini cuma sesaat dan amat semu. Jadi, mulai sekarang dewasalah Sobat. -Nggak usah ikut-ikutan merayakan tahun baru lagi, nggak ada manfaatnya. Sebaliknya hal itu justru membawa mafsadat (kerusakan) bagi akidah kita, juga kepribadian kita. Hindari dan jauhi pesta jahiliyah tersebut. Ok? Sip!
Buletin Dakwah EL-MARJAN
Penerbit: Rohis Daarul Mu’allimin - SMK Negeri 1 Cibinong
Redaksi: Departement Tarbiyah Dakwah & Humas
Layout: Agung Wibisono
Editor: Abid Ramadhan
Distributor: Departement Humas & DKM
Kritik & Saran: 085710389886
Blog: rohis-smkn1cibinong.blogspot.com
Email:rohissmknsatucib@gmail.com
Twitter: @RohisDM_cbn
Related Posts :
- Back to Home »
- Artikel , baru , Buletin , Dept. Humas , Dept. Tarbiyah Dakwah , El-Marjan , jahiliyah , pesta , tahun »
- Pesta Tahun Baru, Pesta Jahiliyah